HANCUR
Senja kali ini tak seindah biasanya
matahari pucat mendekap tangkup-tangkup
kamboja di halaman rumah, dingin
mataku membisu diterkam kerinduan yang
buncah
segalanya berkecamuk, berkelindan tak
tentu arah
gerimis yang satu-satu kuhela seperti
tak mau tunduk
terus saja mencerca menuduhku, menjadi
deras
Kenapa harus sekarang, saat kita mulai
dikalahkan waktu
kau berkhianat?
Aku rela bisa tak kau anggap
aku akan menahannya, sampai habis segala
cara
tapi jangan pisahkan aku dengan
anak-anak kita.
Telah ada seribu petualangan yang
kupersiapkan sedari kita pacaran dulu
kita yang menjelma angin, menjelajah
seluruh negeri yang asing
kita reguk dahaga dari sungai yang
paling deras
kuberikan segala yang bisa membuatmu
bahagia
lalu kuikat hatimu pada hatiku, penikahan
kita
Dan rencana-rencana saat kita pacaran
dulu, petualangan selanjutnya
tentang anak-anak yang akan kita gendong
sepanjang sore,
malam-malam melelahkan yang kita tunggui
bersama
bagiku, ini adalah tingkatan mesra yang
paling indah
kita menjadi sepasang ayah dan ibu,
sepasang kekasih.
Tapi petualangan belum usai.
Lalu kita rajut satu demi satu pakaian
terbaik buat mereka,
dan kita pasangkan dengan penuh harapan,
menjadi tinggilah untuk kemudian
bersujud serendah-rendahnya di hadapan Tuhan.
Kita lalu tersenyum, selepas do’a subuh
waktu itu.
Aku yakin kau masih mengingatnya, walau
pasti tak kau kenang.
Lalu kenapa harus sekarang, saat kita
mulai dikalahkan waktu
kau berkhianat?
Bagaimana dengan rumah sederhana di
pinggir kota,
kerlip bintang-bintang senja menggoda
matahari tua,
kolam ikan tempat kita menghabiskan
senja,
janji-janji yang tak ingin kuingkari?
Aku rela bisa tak kau anggap
aku akan menahannya, sampai habis segala
cara
tapi jangan pisahkan aku dengan
anak-anak kita.
Senja kali ini memaksaku sendiri
matahari pucat menusuk kakiku yang mulai
keriput
gerimis mengeja lekuk kamboja di halaman
yang kau tinggalkan
hiruk-pikuk kota berjalan lambat dalam
potret masalalu.
Kenapa kau harus datang, senja kali ini
saat aku tersedu dihantam elegi waktu?
Ajaraham
Jogja,
130319
Selasa +- 22.05
*untuk seseorang yang hampir habis, kata-katamu menyentak seluruh ruang di
hatiku. “saat saya pergi perang, saya
nggak pernah berpikir untuk mati, tapi sekarang saya benar-benar hancur. Kalau bunuh
diri itu nggak dilarang agama, saya sudah memilih mati.” Akh, kalimat yang membekas
kuat dalam ingatanku. Kau mengatakannya dengan suara tertahan, serak seperti
tak bertenaga, menyerah. Tapi buatku, ada getar yang membuat kalimatmu
benar-benar kuat. Aku percaya, kau tak
seperti apa yang dituduhkan gerimis. Ya ya… Bukan karena kau pernah membelokkan
jalan hidupku, lalu aku mempercayaimu karena hutang budi. Bukan. Aku hanya
percaya saja. Matamu waktu itu mengatakannya.
Dia yang berkhianat, waktu yang mulai
mengalahkanmu, membenturkanmu di satu sisi senja yang sendiri sementara kau tak
bisa memilih. Aku memang tak bisa menjadi lain, mendengar sama persis detak di
waktumu. Merasai dingin yang sama di kulitmu yang mulai mengerut. Aku tak bisa.
Maka aku mencoba menulismu, menerka seliar-liarnya imajinasiku bisa merasaimu.
Semoga kau tak keberatan. Dan semoga, kau mampu membunuh “bunuh diri” dalam
dirimu. Aku hanya percaya saja, karena kau salah satu orang terkuat yang pernah
menundukkan sikap apatis sekaligus menunjukkan rasa hormat yang teramat indah
kepadaku. Matamu waktu itu mengatakannya. Merdeka untukmu selalu!