Kamis, 21 Maret 2013

HANCUR



HANCUR

 
















Senja kali ini tak seindah biasanya
matahari pucat mendekap tangkup-tangkup kamboja di halaman rumah, dingin
mataku membisu diterkam kerinduan yang buncah
segalanya berkecamuk, berkelindan tak tentu arah
gerimis yang satu-satu kuhela seperti tak mau tunduk
terus saja mencerca menuduhku, menjadi deras

Kenapa harus sekarang, saat kita mulai dikalahkan waktu
kau berkhianat?
Aku rela bisa tak kau anggap
aku akan menahannya, sampai habis segala cara
tapi jangan pisahkan aku dengan anak-anak kita.
Telah ada seribu petualangan yang kupersiapkan sedari kita pacaran dulu
kita yang menjelma angin, menjelajah seluruh negeri yang asing
kita reguk dahaga dari sungai yang paling deras
kuberikan segala yang bisa membuatmu bahagia
lalu kuikat hatimu pada hatiku, penikahan kita

Dan rencana-rencana saat kita pacaran dulu, petualangan selanjutnya
tentang anak-anak yang akan kita gendong sepanjang sore,
malam-malam melelahkan yang kita tunggui bersama
bagiku, ini adalah tingkatan mesra yang paling indah
kita menjadi sepasang ayah dan ibu, sepasang kekasih.
Tapi petualangan belum usai.
Lalu kita rajut satu demi satu pakaian terbaik buat mereka,
dan kita pasangkan dengan penuh harapan,
menjadi tinggilah untuk kemudian bersujud serendah-rendahnya di hadapan Tuhan.
Kita lalu tersenyum, selepas do’a subuh waktu itu.
Aku yakin kau masih mengingatnya, walau pasti tak kau kenang.

Lalu kenapa harus sekarang, saat kita mulai dikalahkan waktu
kau berkhianat?
Bagaimana dengan rumah sederhana di pinggir kota,
kerlip bintang-bintang senja menggoda matahari tua,
kolam ikan tempat kita menghabiskan senja,
janji-janji yang tak ingin kuingkari?
Aku rela bisa tak kau anggap
aku akan menahannya, sampai habis segala cara
tapi jangan pisahkan aku dengan anak-anak kita.

Senja kali ini memaksaku sendiri
matahari pucat menusuk kakiku yang mulai keriput
gerimis mengeja lekuk kamboja di halaman yang kau tinggalkan
hiruk-pikuk kota berjalan lambat dalam potret masalalu.
Kenapa kau harus datang, senja kali ini
saat aku tersedu dihantam elegi waktu?


Ajaraham
Jogja,
130319
Selasa +- 22.05

*untuk seseorang yang hampir  habis, kata-katamu menyentak seluruh ruang di hatiku. “saat saya pergi perang, saya nggak pernah berpikir untuk mati, tapi sekarang saya benar-benar hancur. Kalau bunuh diri itu nggak dilarang agama, saya sudah memilih mati.” Akh, kalimat yang membekas kuat dalam ingatanku. Kau mengatakannya dengan suara tertahan, serak seperti tak bertenaga, menyerah. Tapi buatku, ada getar yang membuat kalimatmu benar-benar kuat. Aku percaya, kau  tak seperti apa yang dituduhkan gerimis. Ya ya… Bukan karena kau pernah membelokkan jalan hidupku, lalu aku mempercayaimu karena hutang budi. Bukan. Aku hanya percaya saja. Matamu waktu itu mengatakannya.
Dia yang berkhianat, waktu yang mulai mengalahkanmu, membenturkanmu di satu sisi senja yang sendiri sementara kau tak bisa memilih. Aku memang tak bisa menjadi lain, mendengar sama persis detak di waktumu. Merasai dingin yang sama di kulitmu yang mulai mengerut. Aku tak bisa. Maka aku mencoba menulismu, menerka seliar-liarnya imajinasiku bisa merasaimu. Semoga kau tak keberatan. Dan semoga, kau mampu membunuh “bunuh diri” dalam dirimu. Aku hanya percaya saja, karena kau salah satu orang terkuat yang pernah menundukkan sikap apatis sekaligus menunjukkan rasa hormat yang teramat indah kepadaku. Matamu waktu itu mengatakannya. Merdeka untukmu selalu!

Kamis, 07 Maret 2013

menulis kematian





menulis kematian

Mungkin nanti kita akan bertemu
Dalam pertemuan yang paling asing
Warna-warna senja melukis langit
Kita terpana tak saling kenal

Kini aku tak bisa benar padamu
Karena langitku terus saja kelabu
Jejak nafas yang kita tinggalkan
terbengkalai tak terjamah waktu

sayang, senja semakin pekat
detik kita cuma sebatas ini
sayang, aku tak bisa lama disini
di waktu dunia yang tak abadi


120925
Selasa +- 18.40
Yogyakarta
*ajaraham